“Jadilah kau sosok yang ketika orang lain melihatmu, mereka melihat betapa indahnya Islam.”
Itu adalah nasehat yang gua denger dari tahun 2022 awal, yaa berarti udah hampir 3 tahun lah ya nasehat itu. Kalimat simpel, tapi gua ngerasa kok dalem ya, jadi yaa mumpung kepikiran dan lagi lancar otaknya, gua coba tuangin aja deh. Barangkali nasehat ini bisa berantai ke orang yang lebih luas lagi dan bermanfaat untuk orang yg lebih banyak lagi. Terlalu agamis ya kalimatnya, tapi coba sini gua jelasin versi gua sendiri.
Gua percaya bahwa hidayah itu bukan sesuatu yang berada di genggaman tangan manusia, seberapa alim pun orang tersebut, seberapa suci pun orang itu, bahkan sekelas nabi pernah ditegur ketika merasa bahwa dialah pemegang kendali atas kafir atau muslimnya seseorang. Tapi anehnya, manusia juga diembankan amanah untuk berdakwah, menyeru kepada kebaikan, menyeru orang yang “kebingungan” untuk ditunjukkan kepada sebuah “cahaya” yang menuntun ke arah keselamatan.
Yaa sebenernya kata “aneh” kurang tepat juga, karena ketika lu paham konsep dakwah, maka yang perlu lu lakuin cuma menyeru aja, ngajak aja. Urusan mereka ikut atau kagak? Bukan urusan lu, karena lu tau bahwa yang menggerakan hati seseorang untuk bisa mengambil tanda-tanda “yuk sini balik, kejauhan lu maennya” yaa cuma Allah. Dengan kata lain, dakwah yang lu semua lakuin itu cuma sebuah perantara-Nya aja untuk ngasih hidayah kepada yang dikehendaki-Nya.
Dengan ide kayak gitu, sebenernya mudah untuk mencerna kalimat pertama di tulisan pertama gua ini.
Manusia di dunia ini bejibun, beraneka ragam bentuk, warna, suku, kepribadian, kesukaan, hobi, fokus keilmuan, lu sebutin aja dah ragamnya. Artinya apa? Ya udah jelas bahwa kalo orang-orang yang nyadar tugas dakwah ini ngumpul di satu tempat dan menjadi satu kelompok tersendiri serta menekuni hanya di satu bidang tertentu, ambil contoh bidang dakwah lewat majelis ta’lim di masjid, yaa yang terjadi hanya itu itu aja yang akan kecantol dalam indahnya Islam yang telah lu rasain.
Memang, gua bilang tadi bahwa hidayah-Nya itu hanya Allah berikan kepada yang dikehendaki-Nya, tapi kalo emang effortnya hanya sebatas itu doang, berkelompok di satu tempat dan melakukan satu kegiatan doang, ya gimana mau jadi perantara yang baik untuk menjangkau seluruh umat? Emangnya udah semua muslim rela meluangkan waktunya untuk duduk di majelis-majelis seperti itu? Emangnya semua orang udah bisa untuk ga bosen dateng ke majelis-majelis di masjid? Boro-boro mau duduk lama, beberapa aja ada yang ke masjid sepekan sekali, bahkan ada yang setahun hanya 2 kali. Lalu apa yang lu harapkan? Menunjukkan cahaya? Iya emang bisa, tapi hanya segelintir orang aja kan ujungnya? Gua disini ga menyalahkan cara dakwah di majelis-majelis seperti itu ya, namun kalo semua orang berpikir satu kayak gitu, yaa menurut gua salah aja, apalagi sampe mengklaim kebenaran sepihak. Untuk penjagaan oke, tapi kalo memusatkan semua dakwah disana, emm ..
Dengan segala kompleksitas manusia di dunia ini, rasa-rasanya agak salah untuk memusatkan segala ikhtiar dakwah kita hanya pada satu bidang tertentu, sedangkan masih banyak orang lain yang sebenarnya sedang mencari-cari cahaya itu, tapi ga ada satupun perantara-Nya buat nunjukkin itu. Kalo di Al-Qur’an juga mengkritik orang-orang mukmin untuk pergi berjihad semua ke medan perang (Q.S. At-Taubah: 122), padahal kurang apalagi amalan jihad di dalam Islam. Terutama di zaman ketika umat Islam lagi ditindas dari segala sisi. Maksud dari kritik itu mau ngasih tau kalo orang-orang mukmin itu jangan ngabisin energi mereka hanya untuk jihad di medan perang aja, dan ngelupain perkara-perkara penting yang lainnya, misalnya belajar dan memahami agama dengan mendalam. Agar dengan ilmunya itu, umat Islam mempunyai dai dan pengajar yang bisa berkontribusi dalam peningkatan pendidikan umat manusia.
Dari semua itu, coba balik lagi ke kalimat awal tadi.
Jadilah kau sosok, artinya apa? Ya jadilah diri lu sendiri, dengan karakteristik lu, dengan minat dan bakat lu, dengan segala hobi lu, dengan segala potensi, ciri khas, apapun itu, yaa bener-bener diri lu sendiri aja. Seorang Zidan (nama samaran), seorang Aisyah (nama samaran juga), seorang Yanis (nama bapak gua), pokoknya siapapun lu deh, yang dengan karakteristik lu, gua, dia, yang berbeda-beda itu, orang bisa melihat ada satu keindahan dibaliknya, yang keindahan itu bikin orang lain “kok adem ya”, “gua nongkrong sama dia kok lumayan adem ya, padahal gua sama dia rada rada mirip sifatnya”, “kok gua ngeliat rekan kerja gua kayak tenang aja gitu idupnya, padahal kerjaan kita ga jauh beda”, yang dengan semua itu semoga aja bisa menyadarkan orang lain, bahwa keindahan, ketenangan yang mereka lihat di diri lu itulah yang mereka butuhin, yang sebelumnya ga pernah mereka sadari, yaitu keindahan Islam.
Maka, merdekalah, mengabdilah untuk-Nya dengan cara lu sendiri, dengan segala kapasitas lu, dengan minat bakat lu, dengan kepribadian yang mungkin dinilai orang ga karuan, yaa selagi ga ada larangan-Nya yang lu langgar. Bahkan sekecil hobi tersenyum ramah lu aja barangkali bisa berdampak luas ke orang-orang yang lu temui. Karena hidayah-Nya ga ada yang tau dateng dari mana dan dari siapa.
Barangkali, kebaikan kecil yang timbul murni dari sifat lu, menjadi perantara-Nya untuk orang mengenal Islam lebih dalam, sebagaimana seseorang yang terjebak di gurun pasir akhirnya menemukan oasis yang menyegarkan.
Kebaikan kecil, sekecil nge-share kata-kata yang menampar di platform sosmed lu, mungkin? Who knows, heheh ..